Kisah cinta Ali dan Fatimah adalah salah satu kisah yang penuh Romantika dan
Keberkahan dari Allah SWT. Fathimah adalah teman karib Ali semenjak kecil, puteri tersayang Rosulullah, sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah sepupu Rosulullah yang mempesona, baik kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya maupun kecerdasannya sungguh memesonanya. Ali bin Abi Thalib sejak Fatimah masih kanak-kanak sudah memperhatikan sifat dan tingkah lakunya, yaitu pada suatu hari.ketika ayahnya (Rosulullah) pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang.dilumur isi perut unta. Ia bersihkan dengan
hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia
bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk
menghentikan darah ayahnya. Semuanya
dilakukan dengan mata gerimis dan hati
menangis.
Muhammad ibn ’Abdullah (sang ayah yang.Tepercaya) tidak layak diperlakukan
demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik
(Fatimah) itu bangkit. Gagah ia berjalan
menuju Ka’bah, di sana, para pemuka
Quraisy yang semula saling tertawa
membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam..Fathimah menghardik mereka dan seolah
waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut
jalang itu kesempatan untuk menimpali. Ali bin Abi Thalib tak tahu apakah rasa itu
(selalu memperhatikan sifat dan tingkah laku Fatimah) disebut cinta?.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan bahwa Fathimah dilamar oleh seorang lelaki yang.paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu. ”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin Ali bin Abi Thalib.
Ia merasa diuji karena merasa, apalah ia
dibanding dengan Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin.justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti Ali bin Abi Thalib, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara Ali bin Abi Thalib bertugas
menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar
berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh
bangsawan dan saudagar Makkah yang
masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar;
’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah,
Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.
Sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib) semasa kanak-kanak kurang pergaulan. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud. Siapa budak yang dibebaskan Ali bin Abi Thalib? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah. Ali bin Abi Thalib.hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam Ali bin Abi Thalib.
”Aku mengutamakan Abu Bakar atas
diriku, aku mengutamakan kebahagiaan
Fathimah atas cintaku.” .
Cinta tak pernah meminta untuk menanti,
tapi mengambil kesempatan atau
mempersilakannya.
Dan cinta itu membutuhkan keberanian
atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah
menumbuhkan kembali tunas harap di
hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu
Bakar ditolak, dan Ali bin Abi Thalib terus
menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri menyambut Fathimah. Tapi, ujian itu.rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar.mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk
Islamnya membuat kaum muslimin berani
tegak mengangkat muka, seorang laki-laki
yang membuat syaithan berlari takut dan
musuh- musuh Allah bertekuk lutut, yaitu
Umar bin Khaththab.
Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan
kebathilan itu juga datang melamar
Fathimah. Umar bin Khaththab memang
masuk Islam belakangan, sekitar tiga tahun setelah Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan
ketulusannya? Siapa yang menyangsikan
kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya Umar bin Khaththab dan.Hamzah yang mampu memberikannya pada
kaum muslimin? Dan lebih dari itu, Ali bin
Abi Thalib mendengar sendiri betapa
seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar bin.Khaththab, aku masuk bersama Abu Bakar.dan Umar bin Khaththab..” .
Betapa tinggi kedudukannya di sisi
Rasulullah, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba.bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana Umar bin Khaththab
melakukannya?. Ali bin Abi Thalib menyusul.sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi,.dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan Rosulullah shallallaahu.’alaihi wa sallam, maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
Umar bin Khaththab telah berangkat
sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik
ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya.
”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’. Umar bin Khaththab adalah lelaki pemberani, sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib), sekali lagi sadar. Bila dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap
menikah, apalagi menikahi Fathimah binti
Rasulullah! Tidak. Umar bin Khaththab jauh lebih layak, dan Ali bin Abi Thalib pun ridha.
Sekali lagi cinta tak pernah meminta untuk
menanti. tapi mengambil kesempatan atau
mempersilakannya. Dan cinta itu membutuhkan keberanian
atau pengorbanan.
Maka Ali bin Abi Thalib pun bingung ketika mendengar kabar lamaran Umar bin Khaththab juga ditolak. Ingin menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Rosulullah? Yang seperti ’Utsman bin Affan, sang miliyader yang telah
menikahi Ruqayyah binti Rasulullah? Yang
seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar
Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulullah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri Ali bin Abi Thalib. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?.
”Mengapa bukan engkau yang mencoba
kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunannya.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar
Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Rosulullah.. ”.
” Aku?” , tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!” .
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?” .
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
Ali bin Abi Thalib pun menghadap
Rosulullah, maka dengan memberanikan diri untuk menyampaikan keinginannya
menikahi Fathimah. Ya, menikahi, dengan sadar secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu
nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas
pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya terjawab, ”Ahlan wa sahlan!” .
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Rosulullah. Dan Ali bin Abi Thalib pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan?
Bagaimana lamaranmu?” .
”Entahlah..” .
”Apa maksudmu?” .
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’
berarti sebuah jawaban ?”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka.
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja
sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua- duanya berarti ya !”.
Dan ’ Ali bin Abi Thalib pun menikahi
Fathimah. Dengan menggadaikan baju
besinya. Dengan rumah yang semula ingin
disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. Ali bin Abi Thalib adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” .
Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang
mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’ Ali bin Abi Thalib. Ia mempersilakan, atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan, dan
yang kedua adalah keberanian. Ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi (Fathimah) dalam suatu
riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”.
Ali bin Abi Thalib terkejut dan berkata,
“Kalau begitu mengapa engkau mau menikah.denganku? dan Siapakah pemuda itu?”.
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya,
karena pemuda itu adalah dirimu”.
Kemudian Rosulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
memerintahkan aku untuk menikahkan
Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin
Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya
dengan maskawin empat ratus Fidhdhah
(dalam nilai perak), dan Ali ridha
(menerima) mahar tersebut.” .
Selanjutnya, Rasulullah mendoakan
keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan
kesempurnaan kalian berdua,
membahagiakan kesungguhan kalian
berdua, memberkahi kalian berdua, dan
mengeluarkan dari kalian berdua
kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh
An-Nadhrah 2:183, bab4).
0 komentar:
Posting Komentar